Sabtu, 13 Februari 2010

Sunda sisa Atlanta yang hilang.


Mitos Atlantis muncul ketika mahaguru Socrates berdialog dengan ketiga muridnya; Timaeus, Critias dan Hermocrates. Critias menuturkan kepada Socartes di hadapan Timaeus dan Hermocrates cerita tentang sebuah negeri dengan peradaban tinggi yang kemudian ditenggelamkan oleh Dewa Zeus karena penduduknya yang dianggap pendosa. Critias mengaku ceritanya adalah true story, sebagai pantun turun temurun dari kakek buyut Critias sendiri yang juga bernama Critias.Bila kita melihat dengan menggunakan google map maka aka diketahui adanya bekas telapak tangan raksasa diselatan pulau jawa antara jawa dan Australia.Hal itu dapat ditarik disimpulkan bahwa pernah terjadi penenggelaman terhadap pulau jawa (sunda dimasa itu)

Melalui tulisan Profesor Priyatna "PR" 2 Oktober 2006, berargumen bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung api aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. menunjuk Sundaland adalah atlantis itu.Secara bahasa arti Kata Sunda berarti air, Dalam buku “Sejarah Sunda” karya R. Ma’mun Atmamihardja yang diterbitkan tahun 1958, arti kata Sunda menurut penyelidikannya dapat disimpulkan sebagai berikut : dalam bahasa Sansekereta : Sunda artinya bersinar, terang, nama dewa Wisnu, nama satria buta dalam cerita “Upa Sunda dan Ni Sunda : dalam bahasa Kawi : Sunda artinya air, tumpukan, pangkat, waspada; dalam bahasa Jawa : Sunda artinya bersusun (menyusun), berganda, kata atau suara, naik, terbang; dalam bahasa Sunda : Sunda artinya bagus, indah, unggul, cantik, menyenangkan.Sebelum dihuni manusia, bumi Sunda Jawa telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu, turun ke arcapada lalu kimpoi dengan Pratiwi, dewinya bumi….Jawa Dwipa, menurut salah satu sumber adalah kerajaan dewa pertama di pulau Jawa , letaknya di gunung Gede, Merak, dengan rajanya Dewo Eso atau Dewowarman yang bergelar Wisnudewo. Ini melambangkan dewa kahyangan, permaisurinya bernama Dewi Pratiwi, nama dari Dewi Bumi. Dia adalah putri dari seorang begawan Jawa yang terkenal yaitu Begawan Lembu Suro yang tinggi elmunya/pengetahuan spiritualnya ,. yang mampu hidup di tujuh dimensi alam (Garbo Pitu), tinggal di Dieng (letak geografis di Jawa Tengah).Dieng dari Adhi Hyang artinya suksma yang sempurna. Perkawinan Wisnudewo dengan Dewi Pratiwi melambangkan turunnya dewa yang berupa suksma untuk menetap dibumi. Keberadaannya di bumi aman dan bisa berkembang karena didukung oleh daya kekuatan bumi yang digambarkan sebagai Begawan Lembu Suro.

Menurut cerita Critias, Atlantis tenggelam hanya dalam satu hari satu malam! Di Atlantis inilah terdapat kerajaan besar yang menguasai seluruh pulau dan daerah sekitarnya, termasuk Libia, kolom-kolom Heracles, sampai sejauh Mesir, dan di Eropa sampai sejauh Tyrrhenia. Lalu terjadilah gempa bumi dan banjir yang melanda negeri itu. Dalam hanya satu hari satu malam, seluruh penghuninya ditenggelamkan ke dalam bumi, dan Atlantis menghilang ditelan laut.Cerita tragis yang memunculkan mitos Atlantis itu, bila kita cermati memang akan mengarah secara geografis di sekitar Laut Tengah (Mediterania). Selain nama-nama Libia, Mesir, Eropa dan Tyrrhenia, disebut pula selat dengan pilar-pilar Hercules yang tidak lain adalah Selat Gibraltar (atau dalam bahasa Arab, Selat Jabaltarik) Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara/Sundaland ???), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa. Kecantikan Pulau Jawa bahkan menarik hati Rajanya para dewa yaitu Betara Guru untuk mendirikan kerajaan dibumi. Turunlah dia dari domainnya di Swargaloka dan memilih tempat tinggal di gunung Mahendra. ( Kini disebut Gunung Lawu terletak diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur antara Surakarta dan Madiun). Betara Guru punya nama lain Sang Hyang Jagat Nata , ratunya Jagat Raya – The king of the Universe dan Sang Hyang Girinata, ratunya gunung-gunung, - the King of Mountains. Di kerajaan Mahendra, Sorga yang agung – The great Heaven , Betara Guru memakai nama Ratu Mahadewa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Sunda disebut juga bumi Parahiyangan,atau buminya para Hyang. Ada beberapa raja di jawa yang dikenal sebagai Para Hyang antara lain:

  1. Sang Hyang Brahma bergelar Sri Maharaja Sunda, di gunung Mahera , Anyer, Jawa Barat. Kerajaannya Medang Gili.
    ( Asal mulanya penduduk yang tinggal di Jawa bagian barat disebut orang Sunda).
  2. Sang Hyang Wisnu bergelar Sri Maharaja Suman , di gunung Gora , Gunung Slamet , Jawa Tengah. Kerajaannya Medang Puro.
  3. Sang Hyang Indra, bergelar Sri Maharaja Sakra, di gunung Mahameru, Semeru , Jawa Timur. Kerajaannya Medang Gana.

Di luar dari distorsi yang mungkin terjadi, tulisan tentang dialog Socrates, Timaeus dan Critias tentang Atlantis yang ditulis Plato adalah sumber tertulis yang menjadi referensi utama. Dari dialog itulah tergambar suatu negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi yang bernama Atlantis. Letak negeri berada di depan selat yang diapit Pilar-pilar Hercules (the Pillars of Heracles).

Dalam suatu alur cerita dikisahkan, dalam kunjungan resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau nama bangsawannya Haryo Lembusuro, seorang pandhito terkemuka tanah Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa (India).Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah patung perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap manusia Jawa, Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia tidak bisa menyembah patung, tetapi para Brahmana India tetap mendesaknya, dengan alasan kalau Brahmana dinasti Haricandana menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang Pencipta Tribuwana.


Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun sewaktu kaki Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak disebutkan berapa kekuatan goyangannya dalam skal ritcher). Yang jelas, saking hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak.Memang, menurut tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup itu bukan patung, tetapi lewat rasa sejati, sehingga hubungan kawula dengan Gusti menjadi serasi. Itulah Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsng dari batinya, maka itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.Memang pemahaman penyembahan masyarakat sunda tidak terikat pada konsep patung dan candi.Sebab sebelum pengaruh hindu dan budha di Sunda, orang-orang Sunda telah mengenal tauhid. Stratifikasi sosial yang kastaistis para ningrat kerajaan telah membentuk pula system tata pemerintahan yang cukup baik Dalam konsepsi keyakinan orang Sunda pra hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah SANG PENCIPTA ( SANGHYANG KERESA ) dan YANG ESA ( BATARA TUNGGAL ) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. HYANG menguasai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. HYANG dihayati sebagai MAHA PENCIPTA dan PENGUASA TUNGGAL di alam. Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu ALLAAH, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah HYANG (YANG TUNGGAL) sama dengan shalat menyembah ALLAAH YANG MAHA ESA dalam Dinul Islam. Baru setelah pada masa masuknya pengaruh hindu dan budha, konsep ke-esa-an HYANG yang selama ini terpelihara mulai mengubah faham monoteistis ini.Kedua keyakinan ini kemudian mengalami proses sinkretisasi.

Konsep kahiyangan/ alam langit (pada Islam semacam al ‘Arsy) sangat abstrak alias tidak menyebut tempat fisik dan bangunan sebagai tempat khusus untuk melakukan ritual ibadah di suatu tempat di bumi. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam mulai dari para dewa lokapala , sampai pwah sanghyang sri, pwah naga nagini dan pwah soma adi yang menghuni jungjunan bwana ,bagi tradisi orang Sunda menyembah HYANG adalah salah alasan yang bisa menjelaskan dengan pasti atas kelangkaan candi di wilayah Sunda Priangan. Tradisi sesembahan orang Sunda pra hindu-budha tidak terpusat di candi tapi menyembah HYANG di kahiyangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap HYANG yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di tempat lain. Adapun satu dua ‘candi’ kecil yang ditemukan di Jawa Barat tampaknya sengaja dibangun lebih sebagai simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari Kerajaan Sunda.

Pada masyarakat Sunda, pola seperti god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan mutlak karena dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi tidak ditemukan. Berbeda dengan kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang hirarkis. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran yang berfungsi sentral baik dalam agama, politik dan kebudayaan. sementara kebudayaan Sunda adalah kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan kesamaan derajat antar insan. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang tidak hierarkis pada masa pra-Mataram seperti terlihat dalam undak-usuk sekarang. Maka dari itu di Sunda raja tidak perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan Candi yang eksklusif dan kokoh jauh dari rakyatnya.

Keberadaan berdasarkan fungsi candi sebagai monumen kekuasaan sang raja seperti ini tidak ditemukan di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda, cuma pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi –paling tidak hingga saat ini— keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, candi di Batujaya Karawang dan di Bojongmenje Rancaekek, Bandung, selain proses rekonstruksinya masih kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Dengan demikian, kekuasaan tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di tatar Priangan.

Juga tidak seperti dalam seni pewayangan pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup beragama,berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi.Sedangkan pada masyarakat Sunda, seni pewayangan lebih sekedar merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan dengan etika Hindu-Budha seperti yang ditayangkan dalam pewayangan yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat inilah yang justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran TauhiduLLAAH baru yang sesuai dengan kultur dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar