Sabtu, 13 Februari 2010

masyarakat Badui (Kanekes) pengemban keluhuran budi pekerti

Secara geografis wilayah Badui (baca:Kanekes) terletak pada 6027’27”-6030’0”
Lintang Utara dan 10803’9” – 10604’55” Bujur Timur.
Mereka bermukim tepat di daerah hulu Sungai Ciujung pada sisi utara PegununganKendeng, pada areal Tanah Ulayat Hutan Lindung seluas 5.101,95 Ha di Desa Kanekes sekitar 46 Km ke arah selatan dari kota Rangkasbitung. Berada pada kawasan berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%ketinggian 400 – 1200 m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 200C– 220C.

lojor teu meunang dipotong pendek teu meunang disambung nu lain kudu lainkeun nu ulah kudu diulahkeun,artinya : panjang tak boleh dopotong pendek tak boleh disambung yang bukan harus ditiadakan yang jangan harus dilarang yang benar harus dibenarkan.Inilah motto keseharian hidup mereka dengan upaya tetap berpegang pada ketentuan adat Baduy ini mereka senantiasa eksis dekat bersama alam & menjaga tradisi leluhur mereka sepanjang masa.

Sebutan Baduy berawal dari C.A. Kruseman, seorang peneliti Belanda pada
tahun 1889 yang menganggap bahwa kata “Baduy” berasal dari kata Arab badawi,badawi atau badu, nama kelompok pengembara di Arab. Nama itu kemudian diberikan kepada suku yang unik tersebut.Sementara penduduk Desa Kanekes menyebur dirinya urang Kanekes (orang Kanekes) sesuai dengan nama wilayah, atau sebuatan yang mengacu kepada nama kampong seperti urang Cikeusik, urang Cikertawana, atau urang Cibeo. Sebutan Baduy sebenarnya sangat tidak disukai oleh orang Kanekes, bahkan dianggap sebagai nama ejekan karena menurut mereka orang Baduy adalah sekelompok masyarakat yang bermukim di tepian Sungai Cibaduy di wilayah Gunung (bukit) Badu. Daerah ini merupakan pintu masuk ke wilayah Kanekes dan penduduknya biasa berrpergian ke luar itu dan bergaul dengan penduduk di sekitarnya sehingga mereka sedikit sekali berpegangan pada tradisi Kanekes. Padahal masyarakat Kanekes merupakan mayoritas dan menjadi masyarakat inti di daerahnya.

Kanekes adalah pusat (pancer bumi), tempat terciptanya dunia yang pada awalnya sebesar biji lada. Kemudian perlahan-lahan membesar hingga menjadi planet bumi sekarang. Penciptaan ini dilakukan oleh Ambu Luhur yang tinggal di Negara Suci atau Buana Nyungcung. Setelah itu, ia menciptakan batara yang bertugas mengurus dunia ciptaannya, Nabi Adam adalah insan pertama yang lahir ke dunia dan membentk masyarakat Kanekes ini. Mula-mula insan bertempat tinggal di Cikeusik, kemudian Cikertawana dan akhirnya di Cibeo.Ketiga tempat pusat dunia itu sekarang dititipkan pada para puun, pemimpin tertinggi yang dianggap keturunan batara.
Wilayah daerah Baduy dalam yaitu Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo terdapat
cerita lisan Moela Nagara Badoej. Menurut cerita itu daerah Baduy akan
turun Batara kesatu sampai ke Batara tujuh lalu Dalem lima sampai sekarang ini.
Ketika, Banten pun masih berupa daerah kosong tanpa penghuni. Di wilayah itu
terdapat dua orang sakti yang kesaktiannya diperoleh melalui bertapa. Mereka
adalah Raja Pajajaran dan saudaranya bernama Pucuk Umum.

Dunia ini diciptakan oleh YANG MAHA ESA yang disebut AMBU LUHUR, Batara Tunggal, Nu Ngesersakeun (YANG MENGEHNDAKI) atau kadang-kadang sang Hyang Kersa (YANG MAHA KUASA) dari setitik cahaya yang semakin lama semakin membesar sehingga membentuk bumi ini. Kemudian dia menurunkan tujuh batara, yaitu Batara Cikal (Leluhur Prahyanga/Masyarakat Kanekes), Batara Patanjala (Leluhur Masyarakat Jampang), Batara Wisawara (Leluhur Masyarakat Karang), Batara Wisnu (Leluhur Masyarakat Bombang), Batara Brama (Leluhur Masayarakat Sajira), Batara Hyang Niskala (Leluhur Masyarakat Jassing), dan Batara Mahadewa (Leluhur Masyarakat Banten).

Dari tempat batara turun pertama kali di Cikeusik, kemudian melebar ke
Cikertawana dan akhirnya di Cibeo. Ketiga tempat itu merupakan sumber dan pusat dunia, yang selanjutnya berkembang terus dan kini dititipkan kepada keturunan Batara, Daleum dan Menak yaitu para Puhu yang sekarang itu menjadi puun.Sebagai pusat dunia maka disanalah terdapat tiang alam semesta (tiang dunya)yaitu Sasaka Domas. Dengan demikian Desa Kanekes merupakan sumber pengatur dari Negara Swidak Lima panca salawe nagara atau Satelung puluh sawidak lima panca salawe nagara yang berati sumber pengatur seluruh alam semesta. Oleh karena itu tabu bagi warga desa Kanekes untuk membalik-balikan tanah (bumi) sehingga tanah huma orang Baduy tidak dicangkul sebelum ditanami karena mencangkul tanah berarti membalik-balikan bumi. Dunia terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dunia bawah (Ambu Hadap/Buana Larang), dunia tengah (Ambu Tengah/Buana Panca Tengah), dan dunia Atas (Ambu)

Suku Kanekes tidak mengenal penyembahan terhadap patung,adapun kebiasaan ancak (memberi sesaji) hanya bertujuan sebagai penyambung rasa hormat & asih kepada para leluhur. Asal keyakinan kaum Kanekes adalah Tuhid murni,namun dipaksa hingga mengikuti kehendak asing yang merusak.Bahkan terjadinya bencana alam yang mengakibatkan terpisahnya daratan Jawa dengan India adalah diakibatkan karena Empu Barang dipaksa menyembah patung oleh para brahma india.Sehingga kemarahan YANG MAHA KUASA tak terelakkan lagi.Dalam suatu alur cerita dikisahkan, dalam kunjungan resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau nama bangsawannya Haryo Lembusuro, seorang pandhito terkemuka tanah Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa (India).Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah patung perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap manusia Jawa, Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia tidak bisa menyembah patung, tetapi para Brahmana India tetap mendesaknya, dengan alasan kalau Brahmana dinasti Haricandana menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang Pencipta Tribuwana.


Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun sewaktu kaki Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak disebutkan berapa kekuatan goyangannya dalam skal ritcher). Yang jelas, saking hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak.Memang, menurut tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup itu bukan patung, tetapi lewat rasa sejati, sehingga hubungan kawula dengan Gusti menjadi serasi. Itulah Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsng dari batinya, maka itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.Memang pemahaman penyembahan masyarakat sunda tidak terikat pada konsep patung dan candi.Sebab sebelum pengaruh hindu dan budha di Sunda, orang-orang Sunda telah mengenal tauhid. Stratifikasi sosial yang kastaistis para ningrat kerajaan telah membentuk pula system tata pemerintahan yang cukup baik Dalam konsepsi keyakinan orang Sunda pra hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah SANG PENCIPTA ( SANGHYANG KERESA ) dan YANG ESA ( BATARA TUNGGAL ) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. HYANG menguasai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. HYANG dihayati sebagai MAHA PENCIPTA dan PENGUASA TUNGGAL di alam. Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu ALLAAH, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah HYANG (YANG TUNGGAL) sama dengan shalat menyembah ALLAAH YANG MAHA ESA dalam Dinul Islam. Baru setelah pada masa masuknya pengaruh hindu dan budha, konsep ke-esa-an HYANG yang selama ini terpelihara mulai mengubah faham monoteistis ini.Kedua keyakinan ini kemudian mengalami proses sinkretisasi.

Batara Tunggal adalah pengatur kehidupan. Bila orang mati, maka ia akan kembali ke surga secara langsung dan pasti. Setelah tujuh hari kematian seseorang, rohnya secara langsung menuju surga. Oleh karena itu, kematian diperingati sampai hari ketujuh. Jika seseorang meninggal dunia dan dikubur, bukan semata-mata jasadnya yang dikubur, melainkan merupakan jalan untuk mengahadap Batara Tunggal melalui Ambu Handap. Kubur atau tanah hanya merupakan persinggahan sementara untuk menuju Buana Nyungcung melalui Bumi Suci Alam Padang. Kuburan merupakan tempat roh menyimpan jasadnya selama menghadap Ambu Habdap, untuk kemudian dibawa akan
menghilang dari tanah. Itu sebabnya, bagi bagi orang Baduy kuburan hanya
dipelihara selama tujuh hari. Setelah lewat hari ke tujuh, tanah bekas kuburan
bisa digunakan untuk hal lain.

Dalam pandangan mereka, para Batara, Daleum, dan Menak, yang menurunkan
Puun dan orang-orang Kanekes tidak mati, tetapi ngahyang karena mereka dalam
hidunya lebih banyak melakukan tapa. Itulah yang menyebabkan mengapa manusia di Baduy harus melakukan tapa, menyataukan diri dengan Batara Tunggal karena nasib dan kehidupan manusia diatur oleh suatu kekuatan yang tidak tampak oleh manusia yaitu kekuatan Batara Tunggal. Segala perbuatan yang baik merupakan “ibadah)
sedangkan segala perbuatan yang tidak baik harus senantiasa dihindarkan. Cara
untuk mengekang diri agar tidak melakukan hal yang tidak baik adalah bersikap
dan bertindak teu wasa. Jika perbuatan yang tidak baik dilakukan juga, maka
dosa atas perbuatan itu mengakibatkan kesusahan. Kesusahan itu sudah merupakan siksaan yang akan dijalninya di Buana Larang”.

Selintas dapat kita lihat ajaran Kanekes sangat menyerupai ajaran tauhid pada zaman Nabi Adam,lalu apakah Kanekes adalah tempat bertemunya Adam & Hawa ??? yang jelas bila banyak orang berpendapat bahwa Nabi Adam & Hawa ada di india,maka perlu dicatat bahwa Jawa & daratan India dahulu kala adalah satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar